KEDUDUKAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN
RAKYAT
DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011
TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 telah direvisi menjadi
Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan. Dalam
undang-undang terbaru hasil revisi ini
Ketetapan MPR (S) kembali dicantumkaan dalam tata urut peraturan perundangan
Indonesia. Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI (selanjutnya disebut TAP MPR) merupakan khazanah
ketatanegaraan yang sangat kaya dan penting. Secara
hirarkis tata urut yang baru menurut undang-undang ini adalah sebagai berikut:
1.
Undang Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.
Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat;
3.
Undang-Undang/
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4.
Peraturan
Pemerintah;
5.
Peraturan
Presiden;
6.
Peraturan Daerah
Provinsi; dan
7.
Peraturan Daerah
Kabupaten/ Kota.
Ini berarti
Ketetapan MPR kembali didudukan dalam posisinya yang benar dalam sistem hukum
di Indonesia. Implikasinya sungguh sangat besar dan signifikan, yaitu Ketetapan
MPR akan kembali menjadi rujukan atau salah satu rujukan selain UUD 1945 bukan
hanya dalam pembentukan perundang-undangan di negeri ini, melainkan dalam
pembentukan kebijakan-kebijakan publik lainnya. DPR dan Pemerintah (Presiden)
mutlak harus mempersiapkan tap-tap MPR yang masih berlaku, bahkan merujuk
kepadanya dalam pembentukan undang-undang dan peraturan perundang-undangan di
bawahnya.
Dalam
Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b UU 12/2011 bahwa yang dimaksud
dengan “Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat” adalah Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang
Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai
dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003 (“TAP MPR 1/2003”).
Indonesia
menganut sistem hierarkis, yaitu peraturan perundang-undangan yang berada lebih
bawah tidak boleh bertentangan dengan yang berada di atasnya. Demikin juga
dengan pembentukan Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), dan
Perda-perda mutlak harus mendasarkan
secara formal dan material kepada Tap MPR.
Apabila
kita membicarakan mengenai jenis dan hirarkhi peraturan perundang-undangan,
maka sebagai acuannya adalah Ketetapan MPR Nomor lll/MPR/2000 Tentang Sumber
Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan dan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2004 yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
Berdasarkan
TAP MPR Nomor IIl/MPR/2000 tersebut, jenis dan tata urutan peraturan
perundang-undangan adalah :
1.
Undang-Undang Dasar 1945;
2.
Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
lndonesia;
3.
Undang-Undang;
4.
Peraturan
Pemerintah pengganti Undang-Undang;
5.
Peraturan
Pemerintah;
6.
Keputusan
presiden;
7.
Peraturan Daerah.
Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, jenis dan hierarkhi/tata urutan peraturan
perundang-undangan adalah :
1.
Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.
Undang-Undang/peraturan
pemerintah pengganti Undang-undang;
3.
Peraturan
pemerintah;
4.
Peraturan
presiden;
5.
Peraturan Daerah.
Kemudian diganti
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, dimana jenis dan hirarkhi/tata urutan
peraturan perundang-undangan sebagai berikut :
Pasal 7 ayat (1)
1.
Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.
Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
lndonesia;
3.
Undang-Undang/peraturan
pemerintah pengganti Undang-undang;
4.
Peraturan
pemerintah;
5.
Peraturan
presiden;
6.
Peraturan Daerah
Provinsi;
7.
Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota.
Sebelum
adanya TAP MPR Nomor III/MPR/2000 dan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 sampai
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, jenis dan hirarkhi peraturan
perundang-undangan diatur dalam Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 (telah
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh TAP MPR Nomor lll/MPR/2000).
Dalam
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, Ketetapan MPR dihapuskan dari hirarkhi
peraturan perundang-undangan dan mengembalikan kedudukan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perpu) setingkat dengan Undang-Undang. Disamping itu
sebutan Keputusan Presiden diubah menjadi Peraturan Presiden. Kemudian
Ketetapan MPR RI kembali dalam hirarkhi berdasarkan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 yang disahkan pada tanggal 12 Agustus 2011 dan diundangkan dalam
lembaran negara nomor 82.
Mekanisme
pengujian peraturan perundang-undangan, Pasal 9 UU 12/2011 menyebutkan
bahwa:
a.
Dalam hal suatu
Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (“MK”).
b.
Dalam hal suatu
Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang diduga bertentangan dengan
Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung (“MA”). Sedangkan,
dalam hal suatu undang-undang diduga bertentangan dengan TAP MPR, maka hal
tersebut tidak diatur mekanisme pengujiannya oleh UU 12/2011. MPR pun tidak
punya wewenang untuk menguji undang-undang yang diduga bertentangan dengan TAP
MPR. Karena berdasarkan Pasal 3 UUD 1945 wewenang MPR adalah mengubah
dan menetapkan UUD, serta melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Kedudukan TAP MPR dalam hierarki
peraturan perundang-undangan memang mengundang kritik dari akademisi. Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas
Indonesia Jimly Asshiddiqie menyatakan sebenarnya penempatan TAP MPR di
atas UU adalah keliru. Menurutnya, TAP MPR seharusnya sederajat dengan UU
sehingga bisa dibatalkan jika bertentangan dengan konstitusi melalui pengujian
ke MK.
Terkait eksistensi TAP MPR, sebagaimana diketahui
sebelumnya, TAP MPR memang sempat masuk ke dalam hierarki peraturan
perundang-undangan sebagaimana diatur dalam TAP MPRS No XX Tahun 1966 dan TAP
MPR No III Tahun 2000. Namun, dikarenakan adanya perubahan kewenangan dalam
amendemen UUD 1945, akhirnya TAP MPR dikeluarkan dari hierarki dengan
berlakunya UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Peraturan Perundang-Undangan yang
menempatkan UU langsung berada di bawah UUD 1945.
Dahulu, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tidak lagi menempatkan TAP MPR dalam jenis dan hierarki
Peraturan Perundang-Undangan. Memang betul pada Pasal 7
Undang-Undang ini dinyatakan bahwa “Jenis Peraturan Perundang-Undangan selain
sebagaimana dimaksud Ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-Undangan yang lebih
tinggi”, serta kemudian juga dijelaskan lagi dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (4),
tetapi harus dikatakan bahwa status hukum tetaplah tidak jelas. Ada ambivalensi
terhadap eksistensi TAP MPR.
TAP MPR
yang masih berlaku tersebut keberadaannya tidak lagi diakui, bahkan juga oleh
pemerintah dan DPR sendiri. Jangankan ketetapan tersebut dipergunakan sebagai
rujukan oleh lembaga-lembaga negara, bahkan dilirik sebelah mata pun tidak.
Pemerintah dan DPR malah cenderung mengabaikan TAP MPR yang masih berlaku
tersebut baik dalam proses pembentukan undang-undang maupun dalam perumusan
kebijakan negara. UU No 10 Tahun 2004 saya rasa telah mengandung kesalahan yang
sangat fatal.
Akibat
kesalahan ini maka TAP MPR RI No I/MPR/2003 menjadi muspro. Pasalnya,
tidak ada lagi konsekuensi hukum dan politiknya jika terjadi pelanggaran
terhadap TAP MPR yang masih berlaku tersebut. Dulu pelanggaran terhadap TAP MPR
bisa mengakibatkan jatuhnya memorandum DPR yang berujung pada impeachment,
tetapi pasca-amandemen UUD 1945 langkah politik semacam itu tidak bisa lagi
digunakan. Sebab, Pasal 7A UUD 1945 menyatakan bahwa impeachment
terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden hanya bisa dilakukan apabila Presiden
dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
melakukan perbuatan tercela, dan atau apabila terbukti tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Dalam
ketentuan itu tidak lagi ada faktor pelanggaran terhadap TAP MPR (S) yang masih
berlaku. Akibatnya bisa diduga, TAP MPR menjadi macan ompong, atau
sekedar menjadi dokumen kearifan semata. Tap MPR No I/MPR/2003 yang
menentukan keberlakuan 14 TAP MPRS dan TAP MPR menjadi muspro, tanpa ada
manfaat hukum dan politiknya sama sekali.
Padahal disana ada 11 (sebelas) TAP MPR yang sangat penting dan krusial
jika diabaikan, apalagi dilanggar. Disana ada TAP MPRS No XXV/MPRS/1966
tentang Pembubaran PKI, TAP MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi
Daerah, Pengaturan, Pembagian, dan Pe,amfaatan Sumber Daya Nasional yang
Berkeadilan, Serta Perimbangan Keungan Pusat dan Daerah dalam Kerangka NKRI,
TAP MPR No VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan, TAP MPR No
IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam,
TAP MPR No VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, dan TAP-TAP MPR
lainnya yang sangat penting dan strategis. Tapi semuanya tidak ada sanksi dan
konsekuensi apapun baik secara hukum, politik, maupun manakala dilanggar.
Tak heran kalau gejala anomie dan malfunction atau disfunction
lembaga-lembaga negara kini semakin menyeruak dan membuncah ke permukaan.
Sangat meyakinkan dalam masa-masa konsolidasi infrastruktur hukum dan kelembagaan
negara pasca-amandemen seperti sekarang ini, kita tidak bersikap ahistoris dan
nihilistik terhadap khazanah lama yang nyata-nyata masih berlaku. Kita
sebaiknya tidak bersikap ambigu atau mendua terhadap Ketetapan MPR. Jika memang
mau menguburnya, kuburkanlah sekalian. Dan jika memang masih menganggapnya
berlaku, tentunya juga harus konsekuen, konsisten, dan taat asas. Sikap
ragu-ragu, setengah-setengah, dan ambivalen adalah ciri hipokrisi yang
merugikan dan destruktif.