Kamis, 26 Januari 2012

Be PNS

Be PNS

Yup, Jadi PNS itu gak salah.
Bahkan sangat mulia...
Karena PNS adalah pelayan masyarakat.
Kenapa begitu? tentu saja karena PNS kan digaji oleh masyarakat  melalui APBN.

Tapi sayangnya, PNS masih saja kental dengan nuansa Pegawai Nyantai Slalu or Pengangguran Nyata Sekali. Ga semua siiih itu hanya perilaku para oknum PNS. Banyak juga  PNS yang bekerja dengan baik dan ikhlas tanpa memandang apakah pekerjaannya itu sebuah proyek besar ataupun tidak ada anggaran didalamnya. Bahkan ada juga kok yang ikhlas meski kerjaannya cuma bikinin kopi buat si boss (gelasnya jangan dicuci di air akuarium yaaa) setiap pagi or tidur di pojokan ruangan (he he lumayan buat nakutin jin penjaga ruangan).

Sekarang kan sudah banyak nih Kementerian yang dapat remunerasi, ayo dong kita tingkatkan kualitas kerja kita. Kasihan kan para rakyat yang udah bayar gaji PNS, ga semua dari mereka itu orang mampu. Dengan adanya fakta itu apakah tega menzholimi masyarakat yang mem"bayar" dengan kerja santai wahai PNS??

Saya juga seorang PNS, oleh karena itu tak ada salahnya bila kita saling memberikan inspirasi atau motivasi dalam bekerja.. mari kita kembali ke fitrah kita sebagai PNS (Pegawai Nyantai Sekali) he he .

Go Go PNS!!!!



KEDUDUKAN KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT
DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011
TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 telah direvisi menjadi  Undang-Undang  Nomor  12  Tahun  2011 tentang  Pembentukan Perundang-undangan. Dalam undang-undang terbaru hasil  revisi ini Ketetapan MPR (S) kembali dicantumkaan dalam tata urut peraturan perundangan Indonesia. Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI (selanjutnya disebut TAP MPR) merupakan khazanah ketatanegaraan yang sangat kaya dan penting. Secara hirarkis tata urut yang baru menurut undang-undang ini  adalah sebagai berikut:
1.       Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.       Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3.       Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4.       Peraturan Pemerintah;
5.       Peraturan Presiden;
6.       Peraturan Daerah Provinsi; dan
7.       Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota.
Ini berarti Ketetapan MPR kembali didudukan dalam posisinya yang benar dalam sistem hukum di Indonesia. Implikasinya sungguh sangat besar dan signifikan, yaitu Ketetapan MPR akan kembali menjadi rujukan atau salah satu rujukan selain UUD 1945 bukan hanya dalam pembentukan perundang-undangan di negeri ini, melainkan dalam pembentukan kebijakan-kebijakan publik lainnya. DPR dan Pemerintah (Presiden) mutlak harus mempersiapkan tap-tap MPR yang masih berlaku, bahkan merujuk kepadanya dalam pembentukan undang-undang dan peraturan perundang-undangan di bawahnya.
Dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b UU 12/2011  bahwa yang dimaksud dengan “Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat” adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003 (“TAP MPR 1/2003”).
Indonesia menganut sistem hierarkis, yaitu peraturan perundang-undangan yang berada lebih bawah tidak boleh bertentangan dengan yang berada di atasnya. Demikin juga dengan pembentukan Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), dan Perda-perda mutlak harus mendasarkan  secara formal dan material kepada Tap MPR.
Apabila kita membicarakan mengenai jenis dan hirarkhi peraturan perundang-undangan, maka sebagai acuannya adalah Ketetapan MPR Nomor lll/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
Berdasarkan TAP MPR Nomor IIl/MPR/2000 tersebut, jenis dan tata urutan peraturan perundang-undangan  adalah :
1.         Undang-Undang  Dasar 1945;
2.         Ketetapan Majelis  Permusyawaratan Rakyat Republik lndonesia;
3.         Undang-Undang;
4.         Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang;
5.         Peraturan Pemerintah;
6.         Keputusan presiden;
7.         Peraturan Daerah.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, jenis dan hierarkhi/tata urutan peraturan perundang-undangan adalah :
1.         Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.         Undang-Undang/peraturan pemerintah pengganti Undang-undang;
3.         Peraturan pemerintah;
4.         Peraturan presiden;
5.         Peraturan Daerah.
Kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, dimana jenis dan hirarkhi/tata urutan peraturan perundang-undangan sebagai berikut :  Pasal 7 ayat (1)
1.         Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.         Ketetapan Majelis  Permusyawaratan Rakyat Republik lndonesia;
3.         Undang-Undang/peraturan pemerintah pengganti Undang-undang;
4.         Peraturan pemerintah;
5.         Peraturan presiden;
6.         Peraturan Daerah Provinsi;
7.         Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Sebelum adanya TAP MPR Nomor III/MPR/2000 dan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 sampai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, jenis dan hirarkhi peraturan perundang-undangan diatur dalam Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 (telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh TAP MPR Nomor lll/MPR/2000).

Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, Ketetapan MPR dihapuskan dari hirarkhi peraturan perundang-undangan dan mengembalikan kedudukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) setingkat dengan Undang-Undang. Disamping itu sebutan Keputusan Presiden diubah menjadi Peraturan Presiden. Kemudian Ketetapan MPR RI kembali dalam hirarkhi berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang disahkan pada tanggal 12 Agustus 2011 dan diundangkan dalam lembaran negara nomor 82.
Mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan, Pasal 9 UU 12/2011 menyebutkan bahwa:
a.        Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (“MK”).
b.       Dalam hal suatu Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung (“MA”). Sedangkan, dalam hal suatu undang-undang diduga bertentangan dengan TAP MPR, maka hal tersebut tidak diatur mekanisme pengujiannya oleh UU 12/2011. MPR pun tidak punya wewenang untuk menguji undang-undang yang diduga bertentangan dengan TAP MPR. Karena berdasarkan Pasal 3 UUD 1945 wewenang MPR adalah mengubah dan menetapkan UUD, serta melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Kedudukan TAP MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan memang mengundang kritik dari akademisi. Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Jimly Asshiddiqie menyatakan sebenarnya penempatan TAP MPR di atas UU adalah keliru. Menurutnya, TAP MPR seharusnya sederajat dengan UU sehingga bisa dibatalkan jika bertentangan dengan konstitusi melalui pengujian ke MK.        
Terkait eksistensi TAP MPR, sebagaimana diketahui sebelumnya, TAP MPR memang sempat masuk ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam TAP MPRS No XX Tahun 1966 dan TAP MPR No III Tahun 2000. Namun, dikarenakan adanya perubahan kewenangan dalam amendemen UUD 1945, akhirnya TAP MPR dikeluarkan dari hierarki dengan berlakunya UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Peraturan Perundang-Undangan yang menempatkan UU langsung berada di bawah UUD 1945.
Dahulu, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan  tidak lagi  menempatkan TAP MPR dalam jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan. Memang betul pada                                   Pasal 7 Undang-Undang ini dinyatakan bahwa “Jenis Peraturan Perundang-Undangan selain sebagaimana dimaksud Ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi”, serta kemudian juga dijelaskan lagi dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (4), tetapi harus dikatakan bahwa status hukum tetaplah tidak jelas. Ada ambivalensi terhadap eksistensi TAP MPR.
TAP MPR yang masih berlaku tersebut keberadaannya tidak lagi diakui, bahkan juga oleh pemerintah dan DPR sendiri. Jangankan ketetapan tersebut dipergunakan sebagai rujukan oleh lembaga-lembaga negara, bahkan dilirik sebelah mata pun tidak. Pemerintah dan DPR malah cenderung mengabaikan TAP MPR yang masih berlaku tersebut baik dalam proses pembentukan undang-undang maupun dalam perumusan kebijakan negara. UU No 10 Tahun 2004 saya rasa telah mengandung kesalahan yang sangat fatal.
Akibat kesalahan ini maka TAP MPR RI No I/MPR/2003 menjadi muspro. Pasalnya, tidak ada lagi konsekuensi hukum dan politiknya jika terjadi pelanggaran terhadap TAP MPR yang masih berlaku tersebut. Dulu pelanggaran terhadap TAP MPR bisa mengakibatkan jatuhnya memorandum DPR yang berujung pada impeachment, tetapi pasca-amandemen UUD 1945 langkah politik semacam itu tidak bisa lagi digunakan. Sebab, Pasal 7A UUD 1945 menyatakan bahwa impeachment terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden hanya bisa dilakukan apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau melakukan perbuatan tercela, dan atau apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Dalam ketentuan itu tidak lagi ada faktor pelanggaran terhadap TAP MPR (S) yang masih berlaku. Akibatnya bisa diduga, TAP MPR menjadi macan ompong, atau sekedar menjadi dokumen kearifan semata. Tap MPR No I/MPR/2003 yang menentukan keberlakuan 14 TAP MPRS dan TAP MPR menjadi muspro, tanpa ada manfaat hukum dan politiknya sama sekali.
Padahal disana ada 11 (sebelas) TAP MPR yang sangat penting dan krusial jika diabaikan, apalagi dilanggar.  Disana ada TAP MPRS No XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI, TAP MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian, dan Pe,amfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, Serta Perimbangan Keungan Pusat dan Daerah dalam Kerangka NKRI, TAP MPR No VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan, TAP MPR No IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam,  TAP MPR No VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, dan TAP-TAP MPR lainnya yang sangat penting dan strategis. Tapi semuanya tidak ada sanksi dan konsekuensi apapun baik secara hukum, politik, maupun manakala dilanggar.
Tak heran kalau gejala anomie dan malfunction atau disfunction lembaga-lembaga negara kini semakin menyeruak dan membuncah ke permukaan. Sangat meyakinkan dalam masa-masa konsolidasi infrastruktur hukum dan kelembagaan negara pasca-amandemen seperti sekarang ini, kita tidak bersikap ahistoris dan nihilistik terhadap khazanah lama yang nyata-nyata masih berlaku. Kita sebaiknya tidak bersikap ambigu atau mendua terhadap Ketetapan MPR. Jika memang mau menguburnya, kuburkanlah sekalian. Dan jika memang masih menganggapnya berlaku, tentunya juga harus konsekuen, konsisten, dan taat asas. Sikap ragu-ragu, setengah-setengah, dan ambivalen adalah ciri hipokrisi yang merugikan dan destruktif.